Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib mengatakan,
وَإِيَّاكِ وَكَثْرَةَ الْعَتْبِ فَإِنَّهُ يُوْرِثُ الْبَغْضَاءَ
“Hindari terlalu sering menegur kesalahan orang lain karena hal tersebut menyebabkan timbulnya kebencian di dalam hati.” (Fiqhus Sunnah karya as-Sayyid Sabiq 2/199, Dar al-Fikr)
Yang dimaksud dengan kesalahan dalam hal ini adalah non maksiat.
Inilah kaedah penting menegur, mengkritik, membahas dan komplain atas kesalahan yang dilakukan oleh orang lain semisal isteri, suami, anak, bawahan, dll.
Ketika melatih anak untuk melakukan kegiatan rumah semisal masak, ngepel lantai dll semestinya ortu jangan terlalu sering menyalahkan.
Sikap yang tepat adalah teguran hanya ditujukan kepada kesalahan yang fatal sehingga anak tidak merasa terlalu sering ditegur dan disalahkan.
Orang yang merasa terlalu sering ditegur akan merasa dirinya itu selalu salah. Dampaknya dia mogok, mudah ngambek, ada perasaan kurang suka bahkan benci dengan orang yang sering menegur.
Demikian juga ketika suami melakukan kesalahan dalam membelikan pesanan isteri. Hendaknya isteri tidak berulang kali komplain kepada suami karena hal ini.
Demikian pula ketika isteri melakukan kesalahan teknis terkait masakan, meletakkan barang dll. Semestinya suami bersikap lapang dada dalam kesalahan non maksiat.
Teguran terkait hal ini dilakukan kadang-kadang saja.
Hal yang sama juga berlaku untuk kesalahan teknis yang dilakukan oleh bawahan.
Diantara akhlak mulia adalah tidak sering, tidak berulang kali memberi teguran atas kesalahan non maksiat yang dilakukan oleh orang lain.
Penulis: Ustadz Aris Munandar, S.S., M.P.I.